Assalamualaikum. wr. wb. Izinkanlah saya menceritakan sedikit kisah perjalanan hidup saya. Saya berjuang untuk bisa belajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan sungguh-sungguh sejak masih duduk di bangku SMA N 1 Bantul dengan usaha dan doa serta dukungan dari orangtua dan orang-orang terdekat saya. Bagi saya seorang anak desa, merupakan satu kebanggaan bisa meneruskan studi di UGM. Bukan hanya kebanggaan bagi saya, namun bagi orangtua dan orang-orang di sekitar saya. Akan tetapi kebanggaan itu tak ada artinya jika saya tidak dapat menyelesaikan studi & menjalankan kewajiban saya dengan baik. Terlebih saya membawa nama UGM di masyarakat, yang tentunya segala prestasi dan tingkah laku saya akan dinilai oleh masyarakat. Alhamdulillah usaha itu tidak sia-sia. Saya berhasil diterima sebagai salah satu mahasiswa di antara ribuan orang yang berkeinginan meneruskan studinya di UGM. Hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa ridha Allah dan restu orangtua, serta dukungan dari orang-orang di sekitar saya.
Saya adalah salah satu mahasiswa UGM yang sedang berjuang untuk bisa terus belajar dan mengapai cita-cita menjadi sarjana lulusan UGM. Latar belakang saya berasal dari keluarga yang sederhana, anak orang kebanyakan. Ayah saya seorang PNS dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya dua bersaudara bersama adik perempuan saya yang saat ini masih sekolah di bangku SMA SBI (Sekolah Berbasis Internasional) kelas 1 di SMA 1 Bantul, sedangkan saya sendiri kuliah di Fakultas Hukum UGM saat ini sedang menempuh semester 6.
Pada saat saya masih duduk di kelas 2 SMA, keluarga kami sedang mendapat ujian dari Allah. Ibu saya mengalami sakit yang serius, yakni tumor otak. Memang sebelumnya penyakit itu tidak terdeteksi sejak dini, namun baru terdeteksi setelah tumor itu sudah memasuki pada stadium 3 (tiga). Berbagai upaya sudah kami lakukan untuk kesembuhan ibu kami, mulai dari cara medis maupun pengobatan alternatif yang tentunya menghabiskan biaya yang tidak sedikit sampai hutang di sana sini.
Sekitar setahun menderita sakit dan sudah menjalani berbagi pengobatan, akhirnya Allah punya rencana lain, pada tahun 2007, tepatnya bakda subuh tanggal 13 Maret 2007, bertepatan juga saya sedang menempuh ujian semester ibu saya meninggal. Setelah kepergian ibu, awalnya kami merasa sangat kehilangan, betapa ibu meninggal di usia yang masih muda, yakni 39 tahun. Tetapi kami ikhlas karena mengingat sakit yang diderita ibu cukup berat dan kami juga tak tega melihat ibu menahan sakit setiap hari. Setelah itu kehidupan keluarga kami (saya, adik, dan ayah) bertiga berjalan dengan baik.
Namun, 3 (tiga) tahun kemudian ayah kami menikah lagi. Saya masih menjalani studi kuliah di Fakultas Hukum UGM, sedangkan adik saya masih duduk di bangku SMA kelas 1. Gaji ayah saya sekitar Rp 2.700.000,00 per bulan dan tinggal menerima sekitar Rp 1.400.000,00 karena masih mencicil hutang bank yang digunakan untuk biaya pengobatan ibu di waktu sakit dahulu. Biaya SPP adik saya per bulan Rp 250.000,00, sedangkan biaya kuliah saya minimal Rp 2.000.000,00 per semester. Itu baru biaya sekolah, belum untuk kebutuhan yang lainnya.
Untuk operasional setiap hari saya nglaju dari rumah saya di Srandakan sampai kampus sekitar 45 menit, pulang pergi sekitar 60 km. Untuk transport setiap hari kurang lebih Rp 10.000,00 untuk membeli bensin dan untuk makan 2 kali sekitar Rp 10.000,00, jadi pengeluaran saya rata-rata per hari Rp 20.000,00 atau Rp 600.000,00 per bulan, belum lagi kebutuhan lainnya seperti untuk fotocopy, print, membuat tugas, pulsa, dan lain-lain.
Dengan penghasilan sebesar itu, untuk membiayai saya dan adik saya sekolah serta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dirasa sangat berat, belum lagi ayah saya juga berkewajiban memberi nafkah kepada ibu tiri kami dan anaknya yang masih balita. Ayah kami juga jarang pulang dan tinggal di rumah ibu tiri kami serta jarang memberi uang kepada kami untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari kami di rumah jadi kami menggunakan sedikit tabungan kami yang masih tersisa dan sedikit bantuan dari sanak saudara untuk makan dan memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari dan tidak tahu dapat bertahan sampai kapan seperti ini, berharap keadaan akan membaik.
Saya tinggal di rumah hanya berdua dengan adik saya. Tidak hanya memikirkan biaya sekolah, namun saya juga pusing memikirkan biaya kebutuhan sehari-hari di rumah. Di satu sisi kami merasa tidak terpenuhi hak kami, namun di sisi lain kami juga memahami keadaan ayah kami dengan segala keterbatasannya. Maka, sebagai anak yang berbakti kami juga turut membantu sebisa kami untuk meringankan beban ayah kami dan tidak menuntut ini itu, mengingat ayah sudah tua dan sebentar lagi memasuki masa pensiun.
Setahun terakhir saya tidak lagi diberi uang saku untuk operasional kuliah, bahkan biaya kuliah dan sekolah adik saya pun sempat tertunda-tunda pembayarannya, untungnya adik saya juga mendapat beasiswa dari sekolahnya jadi sedikit bisa meringankan beban orangtua kami. Karena saya tidak lagi diberi uang saku, maka saya dengan berbagai usaha memenuhi kebutuhan untuk operasional saya sehari-hari dengan berjualan pulsa, itupun belum cukup dan oleh karena itu saya bekerja sambilan di sela waktu luang saya, seperti menjadi sopir di toko kayu dan penjaga toko pakaian, atau pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan. Dengan beban mencari uang untuk operasional harian tersebut, mau tidak mau sedikit banyak sangat mengganggu kuliah saya, karena banyak menyita pikiran, tenaga, dan waktu.
Saat ini biaya kuliah yang belum terbayar adalah biaya Kuliah Kerja Nyata (KKN) Rp 1.050.000,00 dan biaya kuliah semester 6 (enam) Rp 2.160.000,00. Dari jauh-jauh hari sampai saat ini saya sudah meminta kepada orang tua namun orang tua belum ada rezeki, dan saya juga sedikit-sedikit menabung. Dengan keadaan saya seperti ini namun Alhamdulillah sampai saat ini saya masih bisa mempertahankan dan meningkatkan Indeks Prestasi saya sehingga hasilnya juga tidak mengecewakan. Jika pada saatnya nanti memang saya belum bisa membayar biaya kuliah mungkin saya akan melakukan cuti 1 (satu) semester atau 2 (dua) semester untuk bekerja terlebih dahulu baru melanjutkan kuliah lagi, meskipun hal tersebut akan menghambat waktu kelulusan studi saya yang akan menjadi mundur. Maka dari itu sebagai salah satu usaha saya adalah dengan mencari beasiswa dan berharap untuk bisa mendapatkan beasiswa yang akan sangat membantu kelancaran studi saya.
Sebenarnya orang tua saya menghendaki saya masuk jurusan IPA pada saat SMA, namun kemampuan saya memang di jurusan IPS, sehingga saya harus membuktikan kepada orangtua saya bahwa pilihan saya tidak salah. Setelah lulus dari SMA saya diterima di 3 (tiga) PTN (Perguruan Tinggi Negeri), yaitu di jurusan Ilmu Hukum UGM, jurusan Ilmu Hukum UNS, dan jurusan Ilmu Manajemen UNY. Namun setelah berfikir, meminta petunjuk Allah, serta meminta pertimbangan dari orang-orang terdekat akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk meneruskan studi di jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM.
Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang pengusaha/ wiraswastawan. Karena ada satu buku yang pernah saya baca menerangkan bahwa “jika kamu jadi buruh maka berusahalah menjadi pegawai”, ”jika kamu menjadi pegawai maka berusahalah menjadi pedagang”, dan Rasulullah SAW pun adalah seorang pedagang. Motivasi saya belajar di UGM adalah untuk menjadi seorang Sarjana Hukum yang jujur, cerdas, dan profesional, sehingga dapat memperbaiki keadaan hukum yang seperti saat ini, baik nantinya saya akan menjadi praktisi, akademisi, maupun berprofesi lain, saya kira itu bukan merupakan masalah karena kita dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang sesuai keahlian kita masing-masing.
Harapan saya dengan adanya beasiswa RZIS UGM adalah dapat sedikit meringankan beban orangtua saya dalam membiayai studi saya, sehingga dapat menunjang keberhasilan studi saya sesuai target waktu yang diharapkan dengan nilai kelulusan yang tidak mengecewakan, mengingat persaingan di dunia kerja semakin ketat. Selain itu juga dapat menambah saudara dan wawasan dengan pengurus maupun sesama penerima beasiswa RZIS UGM. Saya juga menyadari bahwa dana beasiswa RZIS ini berasal dari zakat, infak, maupun sadaqah yang tentunya harus dipergunakan untuk hal-hal yang semestinya, maka insya Allah saya akan amanah dalam mempergunakan beasiswa ini.
Demikian sedikit gambaran mengenai kehidupan saya saat ini, dan uraian di atas bukan berarti saya mengeluh dalam menjalani hidup ini melainkan kami masih bersyukur terhadap apa yang Allah berikan kepada kami sampai saat ini. Ada satu pepatah Arab yang selalu menjadi penyemangat bagi diri saya, “Man Jadda Wajada”, Siapa yang menginginkan sesuatu maka dia harus bersungguh-sunguh untuk mendapatkannya dengan usaha keras, kerja cerdas dan doa, insya Allah dia akan mendapatkannya. Karena saya yakin sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan. Wassalamualaikum. wr. wb